Ketika Profesionalisme Dipertanyakan

8.30 A.M - 2 November 2010 - Solo


Pagi itu kegiatan di rumah saya berjalan seperti biasa, hanya satu yang berbeda, anjing kecil saya mulai berkontraksi. Keponakan saya yang berumur empat tahun tiba tiba berteriak pada Papa saya yang saat itu sedang bersiap - siap untuk berangkat bekerja, "Kung, m*m*knya Vinny keluar lengket lengketnya." teriaknya polos. Sejenak papa saya langsung melihat keadaan anjing kecil saya. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, karena ternyata sang anak anjing lahir sungsang, ekornya keluar terlebih dahulu sebelum kepalanya. Dengan cepat beliau langsung berinisiatif untuk membawa anjing kecil saya ke dokter hewan tanpa memberitahu saya dahulu, mungkin karena saking paniknya beliau. Beliau sampai di dokter hewan tepat beberapa menit sebelum dokter itu buka (menurut jadwal) tapi karena setelah ditunggu lebih lama akhirnya tidak kunjung dibuka dan karena beliau juga tidak memiliki nomor handphone dari dokter tersebut, akhirnya beliau berinisiatif untuk membawa ke dokter lain. Papa saya mungkin juga tidak memiliki pikiran buruk tentang dokter yang satu ini, karena anjing saya yang lain juga sering divaksin di dokter ini karena memang terkenal lebih murah daripada dokter lain yang ada di kota Solo.

Begitu sampai di sana, Papa saya menjumpai sang dokter sedang mem-vaksin beberapa anak anjing, keadaan yang darurat akhirnya membuat Papa saya nekat masuk ke dalam untuk meminta pertolongan terlebih dahulu. Tapi jawaban dari sang dokter membuat beliau kaget bukan kepalang, sang dokter memberitahu Papa saya untuk menunggu sampai proses vaksin selesai, mungkin dalam hati kecil beliau berkata,"What the h***....??". Tapi mau tak mau Beliau harus menunggu walaupun beliau tahu anak yang sudah keluar ekornya tadi tidak akan selamat. Benar saja, baru menunggu beberapa saat, seluruh badannya keluar, dan kepalanya tersangkut. Sekali lagi beliau mencoba untuk meminta agar didahulukan, tapi jawabannya masih tetap sama, diminta untuk menunggu lagi. Akhirnya beliau tetap menunggu, karena beliaupun juga tahu, pasti anak yang tersangkut tersebut tidak dapat di selamatkan karena memang membutuhkan tindakan medis. Dan mungkin yang membuat beliau lebih kecewa adalah tindakan sang dokter yang malah mengulur ulur waktu dengan berbincang dengan sang pemilik anjing yang telah divaksin tadi.
Tapi beliau tetap menunggu dengan sabar tanpa menunjukkan emosinya.

Sampai akhirnya tibalah giliran anjing saya yang diperiksa, dengan santai sang dokter berkata,"Wah, ini sudah mati, Pak." Sang dokter menarik si anak perlahan dan memperlihatkannya kepada Papa saya. Memang kondisi anak anjing tersebut sangat tidak beruntung, berukuran sangat besar jika dibandingkan dengan induknya, dan lahir dalam posisi sungsang. Akhirnya sang dokter menyuntikkan obat untuk memacu kontraksi sang induk setelah menanyakan persetujuan Papa saya. Dan yang paling menggelikan bagi saya adalah, anjing kecil saya tidak di inapkan sementara di sana! Bukankah dalam fase seperti itu seharusnya sang induk harus di tinggal di sana? Akhirnya Papa saya pulang membawa anjing kecil saya yang masih mengandung 1 ekor anaknya dan anjing kecil malang yang belum sempat menghirup udara dunia.

Sesampainya di rumah, Papa saya langsung menghubungi saya yang waktu itu memang sedang berada di Semarang. Sejenak saya terdiam ketika diberi kabar tersebut, tapi saya berusaha untuk tetap tenang dan tidak menyalahkan siapapun. Saya beranggapan bahwa mungkin memang sudah takdir jika memang harus seperti ini. Spontan saya langsung bertolak menuju ke Solo begitu diberitahu keadannya, hanya berbekal baju yang menempel di badan saya berangkat ke halte untuk naik bus patas jurusan Solo. Di lain tempat, Papa saya juga sedang menunggu reaksi dari obat suntikan dari sang dokter. Melihat tidak ada perubahan, beliau menghubungi sang dokter, tapi jawaban sang dokter sungguh membuat beliau lebih kecewa, sang dokter meminta untuk menunggu lagi, padahal sudah sekitar 3 jam dari waktu penyuntikan. Akhirnya Papa saya menunggu seperti yang diminta sang dokter.


14.15 P.M - 2 November 2010 - Solo


Saya tiba di Solo, saya langsung naik bus kota jurusan ke rumah saya. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit akhirnya saya tiba di rumah, dan menjumpai Vinny sedang tergolek di dalam kandang dan sedang ditunggui oleh pacar saya. Mata sayunya terlihat bahwa dia sangat lelah. Beberapa kali dia meraskan kontraksi di dalam perutnya dan mengejan dengan segenap tenaganya yang tersisa. tapi tetap saja sang anak tidak mau keluar. Setelah menunggu beberapa saat dan melihat Vinny yang mulai kehabisan tenaga, akhirnya kami berinisiatif untuk membawa ke dokter hewan. Saya berinisiatif untuk membawa ke dokter hewan yang pada pagi sebelumnya belum buka. Keputusan tersebut saya ambil karena setelah mendengar cerita dari Papa saya secara detil, saya menjadi antipati terhadap sang dokter yang menangani Vinny sebelumnya.

Sesampainya di sana, ternyata sang dokter sedang berada di Yogyakarta, dan kami hanya mampu menjumpai dokter muda yang kebetulan sedang berjaga di sana. sang dokter memeriksa kondisi Vinny dengan lembut, dan memeriksa keadaan sang bayi. Sang dokter muda tersebut berani mengambil kesimpulan bahwa Vinny harus di operasi secara sesar, bukan karena fisiknya yang lemah, tapi karena bayinya memang memiliki ukuran kepala lebih besar dari kemaluan sang induk. Dalam hati saya berkata,"Dokter muda saja berani mengambil kesimpulan untuk melakukan sesar dalam tempo waktu beberapa menit setelah melihat keadaan anjing saya, kenapa dokter yang lebih senior dan telah membuka praktek selama belasan tahun tidak mampu mengambil kesimpulan seperti itu?". Tapi cerita ini tidak berhenti sampai di situ, karena memang masih minim pengalaman, dokter muda tersebut akhirnya menolak untuk melakukan operasi tanpa di dampingi sang dokter senior yang berada di Yogyakarta. Akhirnya kamipun tidak punya pilihan lain selain ke klinik yang saat itu benar benar tidak terpikirkan oleh saya karena memang saya pernah beberapa kali dikecewakan oleh grooming service yang ditawarkan di sana. Sesampainya di sana saya menjumpai seorang dokter muda juga, yang lagi lagi berani mengambil kesimpulan agar melakukan operasi sesar. Setelah berbincang selama beberapa saat, akhirnya proses persiapan operasi dilakukan. Satu hal yang membuat saya akhirnya harus merubah kesimpulan saya tentang klinik hewan yang sebelumnya sangat tidak saya rekomendasikan ini adalah karena sang dokter lebih "ramah" terhadap anjing saya daripada dokter yang menangani vinny sebelumnya. Kami hanya bisa menunggu di luar sementara operasi dilaksanakan. Waktu itu pikiran saya dibuat "parno" dengan membayangkan perut mungil anjing saya di sayat pisau bedah, betapa memilukan jika mengingat ingat hal tersebut. Bahkan pacar saya menitikkan air mata saat melihat Vinny dibawa masuk ke ruang operasi. Setelah menunggu selama 1-2 jam, akhirnya sang dokter keluar dengan membawa bungkusan kertas. Saya seketika itu juga mengetahui bahwa ada yang tidak bisa diselamatkan, dalam hati saya hanya bisa mengulang kata kata "Semoga bukan Vinny..". Dengan wajah penuh duka, sang dokter memohon maaf karena tidak bisa menyelamatkan sang jabang bayi, kurang lebih beginilah kata kata sang dokter "Maaf Mas, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi karena kondisi si anak udah lemah banget.. mohon maaf banget kami nggak bisa nyelametin anaknya. si anak udah keracunan ketuban dari saudaranya, karena normalnya selisih kelahiran dari anak pertama ga boleh lebih dari 4 jam, karena kalo lebih dari 4 jam, ketubannya tadi akan berubah menjadi racun, dan pas dibuka tadi, ternyata air ketubannya udah berubah jadi ijo kentel yang dimana seharusnya warnanya putih. Vinnynya udah sadar, mau lihat keadaannya sekarang?"
Itulah kata kata yang saya tunggu dari tadi, serentak kami berdua langsung masuk ke kamar operasi dan melihat kondisi vinny yang sudah sadar tetapi masih dalam kondisi shock pasca operasi, kondisinya yang lemah dan wajahnya yang sayu karena kelelahan membuat kami makin berat untuk memandanginya lebih lama. Jarum infus yang masih menempel di lengan kecilnya yang hanya sebesar ibu jari saya juga makin menambah sedih pemandangan waktu itu. Sang dokter meminta agar Vinny tinggal di sana selama sehari untuk mengembalikan kondisi tubuhnya yang masih lemah, kamipun mengiyakan dan pulang sambil membawa 1 lagi anak malang yang belum sempat merasakan air susu induknya sendiri. Sesampainya di rumah, kami sudah di sambut oleh pertanyaan tentang kabar Vinny dari keluarga saya yang ternyata sangat mengkhawatirkan keadaannya. Sambil menunjukkan anak kedua yang sedikit lebih kecil dari kakaknnya yang sama sama "tidak beruntung", saya menceritakan semua kejadiannya. Mendengar cerita saya yang saya dapat dari sang dokter yang mengoperasi Vinny, makin geramlah Papa saya pada sang dokter yang menangani Vinny pertama kali. Saya berusaha untuk mengikhlaskan semua, tapi tetap saja rasa kecewa itu tidak dapat di bohongi. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan kondisi pada sang dokter, karena saya sendiripun juga tidak memeriksakan kandungan anjing kecil saya. Tapi tetap saja rasa kecewa pada dokter  itu tidak dapat dihilangkan dengan banyaknya tindakan tindakan konyol yang dilakukannya.

Seandainya saja sang dokter memahami benar benar kode etik kedokteran...


Seandainya saja sang dokter tidak membiarkan menunggu lebih lama....


Seandainya saja sang dokter berani mengambil keputusan...


Paling tidak saya tidak perlu melihat pemandangan ini sebanyak 2x pada hari yang sama...


Vinny's Baby




Vinny's Baby 2
So long and goodnight Vinny's babies...

0 comments:

Posting Komentar